GenPI.co Sulsel - Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Perempuan dan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Sulsel membeber masih tingginya perkawinan anak di empat kabupaten di Sulawesi Selatan.
Hal tersebut diungkapkan Kepala DP3AP2KB Sulsel Andi Mirna di sela-sela Rapat Koordinasi Pencegahan Perkawinan Anak Tingkat Provinsi dan kabupaten/kota di Makassar, Rabu (10/8/2022).
Menurut Andi Mirna, empat daerah tersebut dengan masing-masing persentasenya, yakni Kabupaten Pangkep (26,80 persen), Wajo (24,04 persen), Barru (21,11 persen), dan Tana Toraja (19,49 persen).
"Dibutuhkan edukasi dan peran serta masyarakat, tokoh agama, serta pemerintah dan aparat desa, untuk menekan kasus perkawinan anak," kata Andi Mirna,
Andi Mirna mengatakan, bahwa perkawinan anak yang dimaksud adalah perkawinan yang salah satu atau kedua pasangan berusia masih di bawah usia minimal untuk melakukan perkawinan, yaitu anak berusia di bawah 19 tahun.
"Kasus di Wajo kemarin, orang tua si anak ini sudah menerima sanksi sosial. Kami juga sudah sampaikan agar aparat desa jangan menghadiri undangan, jika yang dinikahkan adalah anak di bawah umur," jelas Andi Mirna.
Sementara itu, di Kabupaten Wajo, DPPPA Sulsel telah melakukan penandatanganan komitmen dengan Bupati dan Forkompinda, kemudian instansi vertikal Kementerian Agama, tokoh masyarakat, kepala desa, hingga imam desa, untuk melakukan pencegahan perkawinan anak.
Selain itu, menurut Andi Mirna, bahwa pihaknya telah menyurat ke kabupaten/kota untuk melakukan tindakan-tindakan dalam rangka mencegah perkawinan anak.
"Nanti akan dibuatkan kembali surat edaran untuk kabupaten kota. Di situ nanti akan termuat semua bagaimana melakukan pencegahan dan perlindungan terhadap anak," ungkap Andi Mirna.
Berdasarkan data DPPPA Sulsel, perkawinan anak di Sulsel secara keseluruhan mengalami penurunan, dari 11,25 persen di tahun 2020, menjadi 9,25 persen di tahun 2021.
Andi Mirna menyebutkan, upaya untuk menghapus perkawinan anak merupakan respons terhadap makin banyaknya bukti yang menunjukkan besarnya skala dan cakupan permasalahan multi-dimensi yang ditimbulkan oleh perkawinan anak.
Pasalnya, sebagian di antaranya berhubungan erat dengan adat dan tradisi masyarakat, ekonomi, akses terhadap informasi kesehatan, akses layanan pendidikan, pergaulan berisiko, dan lain sebagainya. (Ant)